Home » » Multifungsi Media Online: Dakwah vs Prostitusi

Multifungsi Media Online: Dakwah vs Prostitusi

pusing online untuk dakwah atau prostitusi
Dalam wilayah online, kasus politik, hukum, hingga radikalisme dan prostitusi menjadi kehebohan belaka. Apapun itu yang dikemas dan menjadi sajian online, kini terasa lebih menghebohkan masyarakat. Alih-alih bermunculan semisal “radikalisme online” dan “prostitusi online”. Apalagi kasus prostitusi online yang melibatkan artis, baunya lebih menggelegar. Karena apapun yang dilakukan artis akan menjad tranding topic yang gurih-gurih kenyal.

Kita hidup dalam jagat informasi yang berdampak besar dalam komunikasi antarindvidu. Masyarakat dengan mudah menampilkan dirinya secara daring di internet, berkomunikasi, berinteraksi, saling kirim pesan, saling berbagi dan membangun jaringan tanpa batas. Internet memiliki peranan yang sangat signifikan demi meningkatkan propaganda belaka, termasuk memanjakan pelacuran.

Bermula dari kasus terbunuhnya Tata Chubby, seorang pekerja seks komersial (PSK) di Jakarta. Lalu digegerkan lagi-lagi prostitusi standar artis bertarif Rp 80 juta hingga Rp 200 juta yang dijajakan secara online alias daring (dalam jaringan).

Wabah heboh prostitusi online semakin menggemaskan. Cukupkah pemblokiran situs porno ataupun situs radikal ternyata masih banyak ‘jalan tikus’ lewat perkakas teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk melampiaskan tujuan ini.

Inikah wajah Indonesia saat ini? di satu fakta negeri kita dilanda heboh wabah radikalisasi islam dalam media online yang sangat mengkhawatirkan. Di sisi lain para ulama dan tokoh-tokoh islam terus memanfaatkan kehebatan online sebagai sarana dakwah yang mudah dan efektif. Dalam tulisan republika online edisi agustus tahun lalu, mempertegas bahwa media online kini menjadi kendaraan baru bagi para pendakwah. Selain sasaranya heterogen, berdakwah di media online dalam bentuk tulisan juga bisa dibaca siapapun dan kapapun tanpa ada jarak waktu, karena bisa kita buka berulang kali.

Pemblokiran situs-situs islami online yang dianggap radikal, membuat masyarakat bingung. Rakyat Indonesia yang notabene beragama muslim, tentu tidak habis pikir mengapa situs yang benar malah ditutup. Tetapi pemerintah Indonesia dengan sigap dan pandang bulu memblokir karya para pendakwa online dengan dugaan alasan “sesat”.

Globalisasi menurut Garry R Bunt dalam bukunya menuliskan, turut melancarkan kelahirannya terorisme dan memanen raya pelacuran. Oleh karena tu mestinya kita juga harus waspada sekaligus bertindak terhadap ancaman prostitusi yang telah menjerat lapisan masyarakat, baik lapisan bawah maupun lapisan atas, terutama dikalangan anak muda. Bukan lagi merusak mentalitas pemuda Indonesia, tapi dapat pula menghancurkan integritas negeri kita.

Belum lagi ancaman terorisme yang menjadi prasangka pemangku pemerintahan mengenai situs islam di media online. Bukan tidak mungkin nama ‘islam’ akan semakin runtuh dimata negara-negara anti islam. Sudah jelas, media online yang multifusngsi di Indonesia justru membawa kebingunan. Bukannya memberikan dampak positif, melainkan menjadi permasalahan yang dualisme antara sarana edukatif dan sarana pembodohan. Bagi orang yang memanfaatkan media online pada fungsi yang positif, bisa jadi memberikan feedback yang baik bagi dirinya dan juga lingkungan. Alih-alih masyarakat Indonesia yang kian apatis dan alakadarnya, membelokan fungsi-fungsi media online menjad negative. Jadi, hitam dan putih itu tidak pernah menyatu dalam hal apapun di dunia ini, hitam ya hitam, putih ya putih.
M. Rauf. W

Referensi :
  • Ilmu Komunikasi suatu Pengantar Karangan Deddy Mulyana
  • Kutipan Artikel Kompas edisi Sabtu 23 Mei 2015
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : maskolis | johnytemplate | mastemplate
Copyright © 2013. Rauf Paling Baru - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger